Selasa, 23 Juni 2020

Ikhtiar Cerdas Libas Corona, Dimulai Dari Kampung Tangguh Semeru


Catatan sejarah menunjukkan, bencana kesehatan atau penyebab penyakit menular lainnya, dalam skala luas dengan korban massal, bukan hanya terjadi pada abad 21 ini saja. Kala itu dua pertiga penduduk Banten tewas. Di Cirebon, sepanjang kemarau ada 2.000 orang meninggal. Sementara Kendal, Tegal, Jepara, dan semua tempat di pesisir utara Jawa sampai Surabaya, tak terhitung banyaknya nyawa orang melayang akibat penyakit yang tak diketahui.  Di pedalaman lebih parah lagi. Orang sesak napas dalam satu jam saja, lalu mati. Demikianlah laporan VOC ke negeri Belanda tertanggal 27 Oktober 1625. 

Sesudah itu juga terjadi serangkaian malapetaka luar biasa, kerusakan akibat peperangan, hingga bencana-bencana mengerikan. Masyarakat Jawa menyebutnya dengan istilah “pagebluk”. Ini arti atau padanan kata wabah atau petaka dahsyat yang menelan korban jiwa tak terkira.  Kisah tersebut dituangkan De Graaf, ahli sejarah Mataram Islam paling tersohor dalam bukunya “Puncak Kekuasaan Mataram: Politik Ekspansi Sultan Agung (Grafiti: 2002).

Seakan mengulang sejarah kelam. Hari ini, bencana kesehatan kembali mengusik rasa kemanusiaan kita. Bagaimana tidak, hanya dalam hitungan bulan, ribuan orang tanpa memandang status harus meregang nyawa, akibat keganasan virus corona yang kemudian ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dengan sebutan COVID-19 hingga tataran pandemi.

Sekali lagi, ancaman global virus pandemi ini tak mengenal strata sosial, apakah itu namanya raja, kaisar, dan wong cilik. Di mata virus ini, semuanya diberi label kedudukan yang sama (equal) harkat dan martabatnya. Tak ada yang namanya orang kuat (power full) atau memiliki kekebalan hukum, apalagi kekuasaan (dinasti). Intinya, semua dapat dilumat dan diluluhlantakan tanpa mengenal derajat profesi/batas-batas teritorial .

Serangan masif virus corona tak hanya mengakibatkan gangguan kesehatan dan peningkatan jumlah kematian, namun dampak viralnya ke berbagai sendi kehidupan manusia, seperti ekonomi, sosial, budaya, keagamaan, dan bahkan politik. Sebut saja misalnya nilai tukar rupiah yang melemah, pasar-pasar sepi, pemerintah harus mengeluarkan kebijakan penanganan, seperti pembatasan sosial, pengaturan jarak antar orang, memperluas skala pembatasan sosial, menganjurkan ibadah berjamaah sementara waktu ditiadakan, kegiatan sekolah dan perkuliahan dialihkan secara daring dari rumah, hingga aparatur yang harus bekerja dari rumah.

Lalu Bagaimana Dengan Indonesia Sendiri?

Sejumlah media melaporkan tiga negara dengan kasus terbesar, yakni Amerika Serikat, Italia, dan Spanyol. China di posisi keempat dan Indonesia ke-26 di antara 50 negara dengan kasus cukup banyak. Sementara, Italia adalah negara dengan kasus kematian terbesar disusul China, dan Amerika Serikat.

Di luar masalah kesehatan yang merenggut ribuan jiwa, pandemi berkepanjangan ini turut pula meningkatkan pengangguran dan kemiskinan, kerawanan pangan, kekerasan dalam rumah tangga, gangguan keamanan dan potensi konflik sosial.

Sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang No. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana dimana Pasal 1 Ayat 3 menjelaskan tentang bencana nonalam, yakni bencana yang diakibatkan peristiwa atau rangkaian peristiwa berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi dan wabah penyakit. Selayaknya penanganan bencana pada umumnya, hanya dengan memahami kebencanaan dan membangun kesiapsiagaan untuk antisipasi, adaptasi, dan mitigasi bencana, kita dapat hidup menjadi masyarakat tangguh bencana. Untuk itu diperlukan pemaduan pengurangan risiko bencana dengan program perlindungan warga dari dampak bencana serupa dimasa yang akan datang.

Dalam tataran masif, ada empat hal yang harus ditingkatkan kemampuannya untuk mencapai masyarakat tangguh  bencana. pertama, kemampuan mengantisipasi setiap bahaya. Kedua, kemampuan untuk melawan atau menghindari. Ketiga, beradaptasi dengan risiko bencana, dan Keempat, kemampuan melenting balik atau pulih kembali dengan cepat. Setiap kejadian bencana, lanjutnya, menjadikan pelajaran untuk membangun kehidupan yang lebih baik. Ini sesuai prinsip rehabilitasi dan rekonstruksi yaitu Building Back Better, artinya membangun kembali dengan lebih baik.

Masyarakat tangguh bencana merupakan pondasi dari upaya mitigasi bencana, karena bencana tidak dapat kita hindari, namun dampaknya dapat diminimalisir.

Menghidupkan Kembali Semangat Gotong Royong

Pada kondisi pandemi seperti sekarang ini, persatuan yang kokoh antar sesama rakyat Indonesia adalah sebuah keniscayaan yang sepatutnya menjadi amalan. Salah satu upaya untuk mewujudkan persatuan tersebut adalah dengan cara mengamalkan budaya gotong royong di tengah masyarakat, terutama dalam aspek perekonomian.

Tak sekadar solidaritas sosial yang telah mengakar pada masyarakat Indonesia. Secara substansi, sebagaimana Pidato presiden Soekarno beberapa minggu sebelum Proklamasi Kemerdekaan, Soekarno menjelaskan gotong royong sebagai “satu usaha, satu amal, satu pekerjaan …buat kepentingan semua, …buat kebahagiaan semua.” Singkatnya, gotong royong adalah usaha bersama untuk kesejahteraan bersama. Dengan gotong royong, kita tangguh menghadapi bencana bersama-sama dan makin teguh dalam satu komunitas besar yang bernama Indonesia.

Pemerintahpun perlu merancang lebih rinci bagaimana gotong royong dipraktikkan di level nasional, daerah, hingga akar rumput; mengikuti apa yang dijelaskan Soekarno, yaitu sebagai usaha, amal, dan pekerjaan bersama untuk kepentingan bersama menangani dan mengatasi dampak pandemi.

Selain itu, menerapkan budaya gotong royong dalam kehidupan sehari-hari akan melatih kepekaan kita dalam melestarikan nilai-nilai kepribadian bangsa Indonesia. Gotong royong dapat semakin mempererat tali solidaritas antar sesama rakyat. Hal ini akan bermuara pada semakin tergugahnya rasa nasionalisme dan persatuan diantara masyarakat. Jika persatuan antar sesama masyarakat telah kuat, maka kondisi sesulit apapun yang dihadapi bangsa ini akan mampu dihadapi oleh masyarakat sebagai sebuah bangsa yang satu dan tangguh.

Di lain sisi, kita tidak boleh menyerah dan hanya berpangku tangan menunggu inisiasi pemerintah dalam hal edukasi kesiapsiagaan bencana. Usaha mengurangi dampak bencana bisa mulai dilakukan dengan mengedukasi diri sendiri dan orang terdekat  agar mereka dapat lebih memahami konsekuensi yang akan dihadapi. Setelah hal itu dilakukan, edukasi masyarakat sekitar juga perlu dilakukan, karena partisipasi aktif masyarakat dalam hal tanggap bencana terbukti berperan penting dalam mengurangi kerugian akibat pandemi berkepanjangan seperti saat ini.

Dengan demikian, kondisi masa sulit seperti sekarang, solidaritas sosial sebagai ikatan nilai-nilai budaya yang masih tersisa sebagai wujud kearifan lokal menjadi satu-satunya harapan yang bisa diandalkan untuk menangkal daya sebaran COVID-19. Karena itu, kepedulian dan gotong royong di level akar rumput merupakan sebuah solusi yang jauh lebih efektif ketimbang menunggu realisasi janji-janji bantuan-uluran tangan pemerintah pusat.

Jawa Timur Bangkit

Penanggulangan virus corona tentu tak bisa lepas dari konsep gotong royong, pastisipasi dan kepedulian masyarakat seperti penjabaran diatas. Seperti halnya keberadaan Kampung Tangguh Semeru yang merupakan pilot project kolaboratif antara Pemerintah Provinsi Jawa Timur bersama Forkopimda yakni Polda Jatim dan Kodam V/Brawijaya. 

Program kolaboratif ini bisa dikatakan sebagai contoh implementasi dari revolusi mental dengan mengusung semangat gotong royong Di mana kampung tangguh tersebut dihadirkan sebagai bentuk kesiapsiagaan dan kemandirian menghadapi bencana alam maupun non alam. Termasuk yang saat ini terjadi, pandemi Covid-19.

Kampung Tangguh Semeru sendiri lahir sebagai ikhtiar cerdas bagaimana upaya memutus penyebaran virus Corona  yang kian menggila dengan pelibatan warga, pemerintah, dan akademisi. Hingga saat ini tercatat ada 1.559 Kampung Tangguh Semeru di wilayah Jawa Timur.

Berikut adalah penjabaran ketujuh elemen kampung tangguh yang diinisiasi tim Universitas Brawijaya Malang.

Ketangguhan logistik adalah menyangkut kemampuan warga dalam mengelola lumbung pangan yang ada di suatu kampung.

Ketangguhan informasi adalah tersedianya sarana komunikasi internal yang dapat dipercaya yang bisa dijadikan pegangan oleh warga dalam menghadapi suatu bencana.

Ketangguhan SDM adalah bagaimana masyarakat dan sumber daya lingkungan memiliki kemampuan dalam menghadapi dan menangani bencana.

Ketangguhan kesehatan menyangkut adanya tim kesehatan di suatu kampung yang siap membantu warga terdampak bencana.

Ketangguhan keamanan dan ketertiban adalah ketaatan warga dalam mematuhi peraturan.

Ketangguhan budaya adalah bagaimana budaya atau tradisi lokal dapat digunakan untuk membantu dalam menghadapi bencana.

Ketangguhan  psikologi adalah kemampuan kejiwaan warga dalam menghadapi bencana. Karena itu warga diminta untuk tidak mengakses informasi yang diragukan akurasinya agar tidak mengganggu kejiwaan mereka.

Lebih lanjut untuk mencapai Ketahanan Bencana berbasis masyarakat (community-based disaster resilience) ketersediaan teknologi digital rasanya tak bisa dihindari lagi Dengan kondisi ini, tentunya ada peluang yang sangat besar untuk pemanfaatan teknologi digital dalam rangka meminimalisasi resiko bencana.

Ketersediaan data yang akurat di seluruh tingkatan wilayah kota/kecamatan/kelurahan akan membantu mengambil keputusan cepat dan tepat dalam menghadapi pandemi virus corona yang terjadi di tingkat lokal. Ketersediaan big data turut pula membantu aksi cepat tanggap krisis yang sedang terjadi maupun tantangan  kedepan.

Pemerintahpun harus memperbarui aliran data secara berkala untuk memberikan bukti lebih baik untuk setiap pengambilan keputusan. Pemerintah dapat membuat data lengkap terkait corona dengan melibatkan komunitas masyarakat, perguruan tinggi, sektor swasta, dan masyarakat peduli untuk menyusun basis data yang komprehensif, akurat, mudah dibaca dan solutif.

Tak sampai disitu, sudah saatnya dari pemerintah memberikan instruksi untuk membuat website di setiap kampung. Dengan adanya website ini, pemerintah pusat, propinsi, daerah serta desa lain bisa saling terhubung untuk mengetahui keadaan dan perkembangan masing-masing wilayah, khususnya wilayah yang terdampak. 

Yang tak kalah pentingnya, keberadaan sarana teknologi digital sejatinya menjadi “wahana pegukuhan dan pelestarian semangat paguyuban”, sebagai pengganti kontak badan pribadi langsung. Karena itu, sangat penting para ahli social phsycohology, ahli komunikasi, ahli sosiologi dan lainnya aktif mengembangkan pola, cara dan konsep teknik digital yang mampu melaksanakan “semangat distansi sosial yang tersimpul dalam kebutuhan kesehatan mencegah penularan virus” sambil tetap menumbuhkan “semangat ke-kita-an yang menyatu dalam semangat gotong-royong masyarakat paguyuban”. 

Memang tak mudah membangun kembali kehidupan setelah terkena dampak bencana. Tetapi juga bukan hal yang mustahil dilakukan, jika pemerintah bersungguh-bersungguh ingin  mewujudkan masyarakat tangguh bencana. Namun demikian, hal terkait kebencanaan harus bisa dikemas secara baik sehingga bisa menjadi sarana edukasi agar masyarakat lebih paham akan pentingnya tanggap bencana, siaga bencana maupun mitigasi bencana. 

Pandemi corona harus menjadi momentum kebersamaan untuk kebangkitan masyarakat Jawa Timur yang lebih baik: sehat secara fisik, ekonomi, sosial, dan lingkungan serta harus lebih tangguh menghadapi berbagai bencana/pandemi di masa depan. 

Dengan adanya  pembentukan #kampungtangguhsemeru ini harapan brrsama dapat terwujud ketangguhan masyarakat melalui peningkatan ketahanan pangan,pengetahuan, kesadaran, dan kemampuan untuk mengatasi kesulitan dalam menghadapi bencana, serta perilaku dan budaya yang sadar bencana sehingga terwujud sistem penyelenggaraan penanggulangan bencana yang handal.

***

Artikel ini diikutsertakan dalam lomba blogger tentang Kampung Tangguh Semeru yang diselenggarakan oleh HUMAS POLDA JATIM dan Blogger Tangguh SEMERU